Senin, 28 Maret 2016

Ingatlah Momen Ini

Pelangi 16 Desember 2013

Embun senja kali ini menyertai pagi ini, hawa sejuk disertai kabut udara pedesaan yang masih bersih dari polusi. Entah kenapa bayangan itu selalu hadir di tengah-tengah pagi ini. Masih teringat ketika bersepeda menyusuri jalan ini walaupun ketika pulang rodanya sudah dilumuri tanah, tapi perasaan riang itu seolah tak pernah berhenti. Meski harus kubersihkan dulu sepedanya. Namun adakah bedanya dengan hari ini? Tampaknya masih sama seperti dulu. Meski yang berbeda hari ini sepeda yang boleh dibilang legendaris itu sudah ke mana entah siapa yang mengambilnya. Ketika hujan deras pun terkadang masih suka sepedaan di jalanan kampung. Tampaklah waktu itu canda tawa senda gurau begitu lepas adanya. Namun kini semua telah berubah.

Tampaknya dari tahun ke tahun, hanya tampak sedikit perubahan. Orang-orang di sini tampaknya itu-itu saja. Ke manakah yang lain? Pemuda-pemuda seumuranku tampak seolah menghilang? Ya, memang kebanyakan dari mereka pergi merantau. Namun apakah jadinya jika semuanya pergi? Kampung ini seolah semakin sunyi saja. Kadang aku pun terpikir nanti akan ‘mengabdi’ di kampung sendiri. Merantau ke kota hanyalah untuk belajar dan mencari pengalaman. Terkadang iri dengan senior yang membangun kampung halaman, membangun sekolah rintisan, membangun lembaga swadaya masyarakat dan mereka senang dengan apa yang mereka kerjakan. Semoga saja nanti aku pun bisa mengabdi seperti senior. Setidaknya punya satu dua impian itu yang bisa terwujud Aamiin.

Seperti yang dirasakan saat ini, yang kurasakan di negeri orang di perantauan tak ada siapa-siapa paling juga hanya teman pas kuliah dulu. Itu pun sudah sibuk dengan urusan masing-masing. Lingkungan mungkin menjadi pengaruh yang paling besar, di mana terdapat perbedaan yang mencolok dari lingkungan sebelumnya. Adakalanya jenuh yang terasa hanya berkumpul bersama keluarga yang menjadi obatnya. Kata orang Sunda mah “dibetah-betahkeun” walaupun kadang tak betah lama-lama di perantauan. Sebahagia apapun di perantauan lebih bahagia di rumah sendiri “lebih baik di sini rumah kita sendiri”. Ya begitulah sih. Mesti bersabar, sabar untuk menghadapinya. Sabar dalam arti berusaha semaksimal mungkin untuk belajar dan berusaha mewujudkan cita-cita.
Pengorbanan, itulah salah satu alasannya. Memang sulit namun itulah yang namanya perjuangan. Seperti anak panah, ia ditarik ke belakang kemudian dihempaskan anak panahnya agar bisa melesat dengan cepat. Boleh jadi, saat kita ditempatkan dalam kondisi sulit kemudian nanti bisa melesat maju. Banyak orang yang ditempatkan dalam kondisi sulit kemudian beberapa tahun tanpa disangka ia menjadi orang terdepan. Semoga saja ke depannya bisa menjadi lebih baik lagi, bisa keluar dari kondisi sulit. Seperti halnya orang tua yang berkorban untuk anaknya, saat ini belajar mengenai pengorbanan itu sungguh perih adanya. Dulu, mungkin saya selalu menganggap mudah tapi rasanya sekarang hal itu sudah terasa sendiri.

 Visi, mempunyai sebuah visi sangatlah penting. Jalan yang dilalui saat ini tentunya tak boleh berjalan seadanya, ke mana tujuan hidup dan tentunya rencana masa depan supaya lebih terarah. Memang tak semua berjalan mulus, hendaklah bersabar. Ada pesan dari Ustadz Fatih Karim, “Jika hal yang terjadi belum sesuai dengan apa yang menjadi tujuan perlu dihidupkan itu sebab-akibatnya.” Intinya jangan lupakan usaha untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Jika sudah maka hendaklah berserah diri pada Allah SWT.


Dunia itu fana dan akhirat itu kekal. Sejauh apapun melangkah mengejar sesuatu yang fana jangan sampai melupakan sesuatu yang kekal. Ketika berada di perantauan hendaklah mengingat dari mana kamu berasal dan di mana dilahirkan, sebab jika melupakannya generasi kita sudah rusak. Mudah-mudahan apa yang aku cita-citakan tercapai, kamu juga ya ;) ...

Rabu, 09 Maret 2016

Sepenggal Kisah Umar bin Khattab 2



Inilah salah satu kisah paling terkenal dari Khalifah Sayyidina Umar Ibn Al-Khattab, kejadian di mana ia sedang berkeliling melihat keadaan rakyatnya. Pada tulisan sebelumnya disebutkan bahwa rakyat kerap melihat Sayyidina Umar memanggul sekarung tepung dan gandum, sekantong minyak dan kurma untuk ia bagi-bagikan ke rumah janda-janda dan anak anak yatim, ia sendiri yang mengantarnya dan inilah salah satu kisahnya.

Aslam bercerita: aku dan Umar menuju Harah. Ketika tiba di daerah Shahar, kami melihat percik nyala api. Umar berkata, “Wahai Aslam, aku melihat cahaya di sebelah sana. Mari kita ke sana.”Kami pun bergegas ke tempat itu. Kami terperanjat seorang perempuan bersama anak-anaknya. Di depannya sebuah periuk sedang dipanaskan di atas api. Umar lantas menyapa mereka,

“Assalamualaikum, wahai pemilik cahaya (Umar sangat risih untuk menyapa mereka dengan sapaan wahai pemilik api [ashabun naar]). Perempuan itu menjawab ”Waalalaikum salam.”
“Bolehkah aku mendekat?”
“Mendekatlah dengan baik-baik atau pergilah.”
Kami pun mendekat ke perempuan itu.
“Kalian sepertinya ada masalah?” tanya Umar.
“Malam dan dingin menahan kami”
“Lantas apa yang kau masak di periuk itu?”
“Isinya air agar mereka diam dan bisa tertidur. Sesungguhnya Allah berada di antara kami dan Umar.”
“Semoga Allah mengasihimu. Apa yang kau ketahui tentang Umar?”
“Umar memerintah kami, menjadi pemimpin kami, lalu melupakan kami.”
Umar lalu menemuiku dan berkata, “Ayo kita pergi.” Kami pun keluar dan langsung ke gudang gandum. Umar mengambil sekarung dan sekantong minyak. “Biarkan aku yang memanggulnya,”Tegas Umar.
Aku pun berkata, “Tidak, biarkan aku yang membawakannya untukmu.”
“Apakah kau akan menanggung dosaku di hari kiamat nanti?”
Aku pun membantunya. Kami segera kembali ke perempuan itu. Ketika tiba, kami meletakkan dan membuka barang bawaan kami di depan perempuan itu. Umar lalu berkata ke perempuan itu, “Biarkan aku yang memasakkannya untukmu.”Umar pun memasukkan gandum itu ke dalam periuk, juga meniup-niupkan api agar dapat menyala besar, hingga aku melihat asap keluar dari sela-sela janggutnya yang tebal. Umar menurunkan periuk itu lalu menyuguhkannya untuk mereka. Kemudian Umar berkata kepada perempuan itu, “Suapilah mereka, biarkan kau yang meniriskannya.” Anak-anak itu pun makan dengan lahap hingga kenyang. Perempuan itu berkata kepada Umar, “Semoga Allah membalas kebaikanmu.”
Hingga saat itu perempuan tersebut tidak mengetahui bahwa orang di hadapannya adalah Umar, Amirul Mukminin. Umar lalu segera berpamitan untuk kembali melanjutkan ronda. Perempuan itu pun mengucapkan terima kasih  dan berkata, ”Semoga Allah membalas amal baikmu. Demi Allah, engkau lebih baik dan lebih pantas menjadi khalifah daripada Umar.” Umar hanya tersenyum dan menjawab, “Semoga demikian.”


Dari kisah di atas kita dapat mengambil hikmah dan teladan dari seorang Umar Ibn Al-Khattab, begitu lembutnya hati Umar di hadapan rakyatnya di samping Umar dikenal sebagai sosok yang keras dan tegas. Jika dibayangkan saat ini sulit mendapati pemimpin seperti Umar. Ia diberi gelar Al-Faruq yang artinya pembeda, membedakan mana yang haq dan mana yang batil. Ketika sebelum memeluk Islam, Umar sangat membenci Rasulullah SAW namun setelah ia membaca ayat Quran yang ia dengar sepupunya Sa’d bin Zaid dan saudara kandungnya Fatimah ia merasakan ketenangan dan resmi memeluk Islam saat menghadap Rasulullah SAW. Ia menjadi menjadi benteng terdepan dalam barisan untuk membela Rasulullah SAW. Bagaimana menurutmu penuturan kisahnya? Saya pun merinding membaca kisahnya, merasa terharu membaca kisah Umar yang satu ini. Ia sangat takut kepada Allah semoga kita juga termasuk golongan orang-orang yang takut kepada Azab Allah.  Aamiin. 

Rabu, 02 Maret 2016

Sepenggal Kisah Umar bin Khattab 1



Sepenggal cerita mengisahkan bagaimana Khalifah Umar Ibn Al-Khattab dalam penegakan hukum. Sifat tegas dan lembut Umar tentu membuat rakyatnya saat itu terkagum-kagum, disamping memberikan hukuman kepada yang bersalah, ia juga memberikan nasihat.

Umar bin Khattab mempunyai cara tersendiri dalam menegakkan hukum. Beberapa kali ia menyadarkan orang yang salah untuk kembali ke jalan yang benar dengan cara-cara yang penuh hikmah dan kelembutan. Suatu ketika diadukan ke hadapan Umar perihal seorang lelaki lacur dari Syam. Dikatakan tentang lelaki itu: ia selalu minum hingga mabuk. Mendengarnya Umar segera memerintahkan juru tulisnya untuk mencatat:

Dari Umar bin Khattab untuk Fulan bin Fulan. Assalamualaikum. Aku memuji kepada Allah atasmu, bahwa tiada Tuhan selain Allah. Bismillahirrahmanirrahim. Telah diturunkan sebuah kitab suci dari sisi Allah yang Mahaperkasa dan mengetahui, yang mengampuni segala dosa, menerima tobat, dan memiliki azab yang pedih dan kekuasaan. Tiada tuhan selain Dia, dan kepadanyalah segala sesuatu kembali.

Umar menstempel surat itu, lalu berpesan kepada pengantarnya: “Jangan berikan surat ini kepada lelaki itu kecuali ia telah tersadar”. Umar juga memerintahkan urusan itu untuk mendoakan lelaki pemabuk itu. Hingga suatu ketika surat itu datang dan dibacakan di hadapan lelaki pemabuk itu, ia berkata: “Sungguh, Tuhanku telah menjanjikan pengampunan untukku, dan mencegah siksaannya atas diriku”. Lelaki pemabuk itu terus membacanya hingga ia menangis. Ia kemudian bertobat, dan memperbaiki perbuatannya.

Ketika kabar sampai kembali kepada Umar, ia berkata: “Seharusnya demikianlah kalian berbuat. Ketika salah satu dari kalian melihat seseorang terjerumus pada kesalahan, luruskan, doakan, dan jangan menjadi setan lain untuknya.

Dari kisah di atas Umar begitu antusias dan cerdas dalam mendidik. Ia seorang kaisar agung sang penakluk dua imperium besar, Romawi dan Persia yang tidak memiliki ajudan seorang pun. Saat siang hari ia berpuasa demi hajat rakyatnya, saat malam hari ia tidak menyia-nyiakan kesempatan kepada Alloh Ta’ala. Rakyat kerap melihatnya memanggung sekarung tepung dan gandum, sekantong minyak dan kurma untuk ia bagi-bagikan ke rumah janda-janda dan anak anak yatim, ia sendiri yang mengantarnya.

Penggalan kisah ini dikutip dari buku karya Dr. Mustafa Murad - Kisah Hidup Umar Ibn Khattab
Sumber gambar: pinterest